^^,

Asslamu'alaikum...

Jumat, 06 April 2012

TEORI PEMBELAJARAN THORNDIKE


DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
    1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah......................................................................... 2
1.3 Tujuan ..........................................................................................  2

BAB II  PEMBAHASAN.............................................................................. 3
2.1 Teori Pembelajaran menurut Thorndike........................................ 3
2.2 Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran ..........................  10

BAB III PENUTUP.......................................................................................   12
3.1 Simpulan.......................................................................................   12
DAFTAR PUSTAKA



I.                   PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku pada diri manusia. Kegiatan belajar sangat dipengaruhi bermacam-macam faktor.Metode dan strategi belajar sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.Keberhasilan siswa mencapai suatu tahap hasil belajar memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya.

Mengajar tidak secara otomatis menjadikan siswa belajar. Seorang guru sebaiknya memiliki pola pembelajaran yang dapat menerangkan proses, menyebutkan dan menghasilkan lingkungan belajar tertentu sehingga siswa dapat berinteraksi yang selanjutnya berakibat terjadinya perubahan tigkah laku siswa secara khusus. Melalui pemahaman berbagai model pembelajaran yang banyak dikembangkan di kelas, seorang guru dapat mengembangkan strategi pembelajaran lewat pemikiran di belakang meja sebelum yang bersangkutan menghadapi siswa.Model pembelajaran dapat membantu guru dalam penguasaan kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan upaya mengubah tingkah laku siswa sejalan dengan rencana yang telah ditetapkan.Hal ini berarti model pembelajaran diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, baik di kelas maupun di luar kelas.

Strategi pembelajaran tidak terlepas dari teori belajar yang dihasilkan oleh pakar-pakar pendidikan.Teori belajar yang bersumber dari pakar pendidikan atau pakar psikologi pendidikan banyak macamnya. Misalnya teori belajar assosiasi, teori belajar conditioning, teori belajar deduktif hipotesis, teori belajar sosial, teori belajar eklektif, teori belajar medan kognitif, teori belajar kognitif, teori belajar pemrosesan informasi dan sebagainya.
Disadari atau tidak, mungkin saja para guru atau pendidik di sekolah sudah menerapkan sebagian dari teori-teori itu dalam melaksanakan tugasnya, mungkin juga dengan tidak disadarinya guru telah menggunakan kombinasi delapan teori belajar yang relevan untuk para siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Namun dalam pembahasan makalah ini, hanya akan dikhususkan pada bagaimana teori pembelajaran menurut Thorndike.

1.2    RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah di dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah teori pembelajaran menurut Thorndike ?
2. Bagaimana penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam matematika?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN

1. Untuk mengetahui teori pembelajaran menurut Thorndike.
2. Untuk mengetahui penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam matematika.




II.                PEMBAHASAN
2.1. Teori Pembelajaran Thorndike
Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah  salah seorang penganut paham psikologi tingkah-laku. Berdasarkan hasil percobaannya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal  dengan teori “pengaitan” (connectionism).
Bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun pada manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai “trial and error learning” atau “learning by selecting and connecting”.Organisme dihadapkan kepada situasi yang mengandunhg problem untuk dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar itu akan memilih respon yang tepat diantara berbagai respon yang mungkin akan dilakukan. Eksperimen-eksperimen Thorndike yang mula-mula modelnya adalah demikian ini, dan terutama dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai subyek dalam eksperimen itu.Eksperimennya yang khas ialah dengan kucing yang masih muda yang kebiasaan-kebiasaannya belum kaku, dibiarkan lapar; lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut “problem box”. Konstruksi pintu kurungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar mencapai makanan yang ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama kuycing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka.Waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan berulang-ulang pada usaha atau trial berikutnya ternyata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan problem itu makin singkat. Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetpai dia belajar mencamkan (mempertahankan) respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah”. Teori tersebut menyatakan bahwa  belajar  pada  hewan dan manusia pada dasarnya  berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan  respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Iamengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan law of effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil jika respon sisw terhadap suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau kepuasan ini bisa timbul sebagai akaibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran lainnya.Stimulus ini termasukreinforcement.Setelah anak berhasil melaksanakan tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada pilihannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnyabelajar merupakan proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).



Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut:
(1)     Hukum kesiapan(Law of readiness)
Hukum kesiapan adalah prinsip tambahan yang menggambarkan taraf fisiologis bagi law of effect.Hukum ini menunjukkan keadaan-keadaan dimana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasaan, menerima atau menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu, yaitu:
1.      Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit tersebut akan memberi kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain untuk mengubah konduksi itu.
2.      Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulkan ketidak-puasan, dan akan menimbulkan respon-respon yang lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan, dan akan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan itu.
3.      Apabila unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidak-puasan, dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan itu.
Jadi, apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuain diri atau hubungan dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka  memenuhi kecendrungan itu di dalam tindakan akan memberikan kepuasan, dan dan tidak memenuhi kecendrungan tersebut akan menimbulkan ketidak-puasan. Jadi sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak, ready to act.
Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian melakukan kegiatan, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan ketidakpuasan itu.
Seorang anak yang tidak mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu, sedangkan orang tersebut ternyata melakukan tindakan, maka apa yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi dirinya. Dia akan melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan tersebut.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.
(2)     Hukum latihan (law of exercise)
Hukum ini mengandung dua hal yaitu:
1.      Law of use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
2.      Law of disuse: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang  telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respondilatih (digunakan), maka  ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
(3)     Hukum akibat (law of effect)
Law of effectini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan sebagai akibat dari pada hasil respon yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan berkurang. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut  ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru  kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya.Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Perumusan mengenai law of effect banyak mendapat kritik. Pada pokoknya ada dua macam keberatan yang diajukan keadaan,
1.      Kepuasan dan ketidak-puasan itu adalah istilah subyektif, jadi tidaklah tepat untuk menggambarkan tingkah laku hewan. Tetapi sebenarnya yang dimaksud dengan Thorndike sebagai keadaan yang memuaskan dan tidak memuaskan itu adalah sebagai berikut: keadaan yang tidak memuaskan itu adalah keadaan dimana hewan tidak berusaha untuk mempertahankannya, sering berusaha untuk mengakhiri keadaan tersebut. Keadaan yang memuaskan adalah keadaan dimana hewan tidak berusaha untuk menghindarinya sering mengulang-ulanginya, jadi, kalau dikatakan bahwa Thorndike kurang obyektif itu sebenarnya adalah kurang tepat.
2.      Pengaruh (effect) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa lampau yang dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa yang lampau adalah sudah lampau, dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan kini. Yang dimaksud oleh Thorndike mengenai hal ini adalah demikian:
Pengaruh (effect) itu ternyata di dalam kemungkinan terjadinya respon apabila situasi yang akan datang terjadi; tentang apakah pengaruh itu benar-benar terjadi atau tidak, adalah masalah observasi, jadi bukanlah hal yang harus ditolak secara apriori.
Memang perumusan-perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Kalau dikatakan dengan kata-kata yang sederhana apa yang dimaksud oleh Thorndike itu adalah demikian : hadiah atau sukses akan berakibat dilanjutkannya atau diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang hukuman atau kegagalan akan mengulangi tingkah laku yang membawa hukuman atau kegagalan itu.
Ketiga hukum yang telah dikemukakan itu adalah hukum-hukum primer (primary-laws). Kecuali ketiga hukum-hukum pokok atau hukum-hukum primer itu Thorndike mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subside atau hukum-hukum minor (subsidiary laws, minor laws). Kelima hukum subsider tersebut merupakan prinsip-prinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak sepenting hukum-hukum primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer dan hukum-hukum subsider itu tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih kemudian hukum-hukum subsider tersebut kadang-kadang dipakai lagi. Adapun ke lima hukum subsider tersebut adalah:
1.        Law of multiple respon,
Merupakan langkah permulaan dalam proses belajar.  Melalui proses “ trial and error “ seseorang akan melakukan  bermacam – macam respons sebelum memperoleh respons 
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.
2.        Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri individu yang menentukanapakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu  tersebut. Proses belajar individu dapat berlangsung dengan  baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu bila  situasi tidak menyenangkan.
3.        Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons selektif ), dengan demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang sama.
4.        Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dapat melakukan respon pada situasi yang belum dialami karena mereka dapat menghubungkan situasi yang baru yang belum pernah 
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi perpindahan ( transfer ) unsur – unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
5.        Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya sedikit demi sedikit unsur – unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur – unsur lama sedikit demi sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu situasi yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan  unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan.Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain.  Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik.Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa.Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan.
Eksperimen – eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike banyak mengalami perkembangan sehingga 
timbulah revisi – revisi pada teorinya, antara lain:
a.         Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dengan respons, demikian pula tanpa ulangan belum tentu melemahkan hubungan stimulus – respons.
b.        Hukum akibat direvisi, karena dalam penelitianya lebih lanjut ditemukan bahwa hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Dengan ini maka untuk hukum akibat dijelaskan, bila hadiah akan meningkatkan hubungan stimulus – respons, tetapi hukuman ( punisment ) tidak mengakibatkan efek apa – apa. Dengan revisi ini berarti Thorndike tidak menghendaki adannya hukuman dalam belajar.
c.         Belongingness, yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus – respons bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut. Dengan demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.
d.        Spread of Effeck, yang intinya dinyatakan, akibat dari suatu perbuatan yang dapat menular.

2.2.  Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
Aplikasi teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah sebagai berikut:
a.         Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
b.        Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
c.         Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap materi yang diberikan.
d.        Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
e.         Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
f.         Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
g.        Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
h.        Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
i.          Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
j.          Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi.
III.             SIMPULAN
Teori belajar Thorndike di sebut “ Connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut “Trial and error” dalam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu, dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan hukum akibat (law of effect).
Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan  unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki.




DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata, S.. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Gredler, M. E.. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suherman, dkk. 2003. Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica.
Akhmadan,Widyastuti. (2010).Toeri Asosiasi dari Edward L Thorndike.Tersedia di http://blog/unsri.ac.id.Diakses tanggal 2 Oktober 2010.

Entri Populer